Hajiumrahnews.com – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tengah memasuki babak penting di DPR RI. Di tengah sorotan terhadap pembentukan Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BP Haji) sebagai lembaga baru setingkat kementerian, muncul kekhawatiran dan harapan dari pelaku industri travel haji dan umrah, khususnya Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Bagi mereka, revisi ini bisa menjadi momentum pembenahan menyeluruh. Namun di sisi lain, perubahan regulasi ini juga menimbulkan ketidakpastian, terutama jika transisi kelembagaan tidak diiringi dengan kejelasan teknis dan perlindungan terhadap pelaku usaha resmi.
Salah satu poin sentral dalam revisi adalah peralihan sebagian besar fungsi teknis dari Kementerian Agama kepada BP Haji. Artinya, travel yang selama ini berinteraksi langsung dengan berbagai direktorat di Kemenag, nantinya akan berhadapan dengan satu lembaga baru yang bertanggung jawab atas pelayanan, pengawasan, dan sistem digital perizinan. Sebagian pelaku menyambut ini sebagai peluang penyederhanaan birokrasi, namun sebagian lainnya justru melihatnya sebagai ancaman baru: apakah prosesnya akan benar-benar lebih sederhana, atau malah menambah satu layer administrasi?
Isu lain yang turut menyita perhatian adalah pengakuan legal terhadap visa non-kuota. Jika diatur dengan jelas, ini bisa menjadi solusi terhadap realita di lapangan, di mana banyak jamaah memilih jalur cepat dengan biaya tinggi. Namun jika tidak, dikhawatirkan justru membuka celah bagi travel nakal dan menormalisasi praktik-praktik di luar sistem.
Di tengah geliat perubahan ini, muncul pertanyaan dari berbagai PIHK dan PPIU kecil: apakah kami akan mampu bertahan? Sebab dalam revisi tersebut, travel diwajibkan untuk melakukan pelaporan aktivitas secara digital dan real-time, mulai dari data keberangkatan, akomodasi, hingga kepulangan jamaah. Travel yang belum memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia memadai, tentu akan kesulitan mengejar standardisasi yang diminta.
Baca juga: Kemenang vs BP Haji
"Kalau pelaksana teknis dipindah ke BP Haji, kami khawatir semua izin dan pelaporan harus mulai dari nol lagi. Padahal sistem di Kemenag saja baru kami pahami bertahun-tahun," ujar seorang Direktur PPIU di Surabaya dalam forum diskusi terbatas yang diselenggarakan Himpuh awal Juli lalu.
Kekhawatiran ini tidak berlebihan. Banyak pelaku industri menyoroti belum adanya peta jalan (roadmap) transisi yang jelas. Apakah izin lama akan tetap berlaku? Bagaimana jika terjadi tumpang tindih regulasi antara Kemenag dan BP Haji dalam masa peralihan? Dan siapa yang menjadi otoritas tunggal dalam penegakan sanksi bagi travel yang melanggar?
Meski demikian, tidak sedikit pula pelaku travel yang melihat revisi ini sebagai peluang untuk mengangkat standar industri. Dengan pengawasan ketat dan sistem digital terintegrasi, travel bodong yang selama ini mencoreng citra penyelenggaraan ibadah bisa ditekan. Travel resmi akan semakin terdorong untuk berbenah, menaikkan mutu pelayanan, dan membangun kepercayaan jamaah.
Namun, semua harapan itu hanya bisa terwujud jika BP Haji dibentuk dengan prinsip tata kelola yang bersih, sistem digital yang stabil dan terbuka, serta adanya sosialisasi masif ke seluruh level pelaku usaha di daerah. Jika tidak, revisi UU ini hanya akan menjadi kebijakan elitis yang meminggirkan pelaku kecil dan memperkuat dominasi segelintir pemain besar.
Industri perjalanan haji dan umrah bukan semata bisnis, tapi amanah. Travel adalah jembatan antara niat suci jamaah dan sistem pelayanan yang disediakan negara. Oleh karena itu, negara punya kewajiban memastikan bahwa setiap perubahan regulasi tidak menambah beban, tetapi justru memperkuat keadilan dan akuntabilitas.
Revisi UU ini akan menjadi penentu: apakah travel haji dan umrah diposisikan sebagai mitra pelayanan yang profesional, atau tetap menjadi obyek pengawasan yang terus diragukan kredibilitasnya. Jawabannya akan tergambar dari bagaimana revisi ini dilaksanakan, bukan hanya dari pasal-pasal yang disahkan di Senayan.