Kemenag vs BP Haji: Tarik Menarik Kewenangan di Balik Revisi UU Haji dan Umrah

Hajiumrahnews.com – Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah memasuki babak baru. Di balik rapat-rapat formal dan pasal-pasal yang dibahas, tersimpan satu pertanyaan krusial yang mulai mengemuka: siapa pemegang kendali utama atas penyelenggaraan haji dan umrah — Kementerian Agama (Kemenag) atau Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BP Haji)?

Salah satu poin penting dalam revisi UU adalah pengesahan BP Haji sebagai lembaga pemerintah setingkat menteri. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1A dalam draf harmonisasi RUU, yang sudah disetujui Badan Legislasi DPR RI dan siap dibawa ke paripurna.

Namun kritik tajam muncul. Draf tersebut dinilai belum memberi peran strategis dan nyata kepada BP Haji. Banyak tugas teknis, seperti pengawasan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), penentuan kuota, hingga urusan komunikasi luar negeri, masih tetap melekat pada Kemenag.

“Kalau BP Haji dibentuk tapi kewenangannya tidak diberikan, buat apa ada lembaga itu?” ujar Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi.

Dalam konteks pelayanan haji dan umrah, Kemenag selama ini memegang hampir seluruh rantai kebijakan — mulai dari regulasi PIHK dan PPIU, bimbingan manasik, penetapan BPIH, hingga perizinan kuota dan rekomendasi visa.

Sementara itu, BP Haji justru berpotensi hanya menjadi lembaga pelaksana administratif, meski statusnya “setingkat menteri”. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa lembaga baru tersebut hanya akan menjadi “stempel legalitas”, tanpa otoritas sesungguhnya.

Apa Taruhannya? Ketidaktegasan dalam distribusi kewenangan berpotensi menimbulkan dampak serius:

(1) Tumpang Tindih Kebijakan – Koordinasi menjadi rumit jika dua lembaga saling berebut peran. (2) Layanan Tidak Efisien – Jamaah berisiko dirugikan jika birokrasi menjadi lambat dan tidak sinkron.  (3) Dualisme Kepemimpinan – Hubungan dengan Arab Saudi bisa terhambat jika tidak ada satu pintu.

Bagi para pelaku industri haji dan umrah, revisi ini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka berharap ada pembaruan sistem layanan yang lebih profesional. Di sisi lain, mereka juga khawatir akan muncul ketidakjelasan baru, terutama dalam perizinan, distribusi kuota, dan kepastian kebijakan biaya.

"Selama ini kami berhadapan dengan Kemenag untuk segala hal. Kalau nanti urusan teknis pindah ke BP Haji, tapi keputusan tetap di Kemenag, kami bisa terjepit di tengah," ujar seorang pimpinan PIHK asal Jakarta yang enggan disebutkan namanya.

DPR Dorong Desentralisasi Layanan
Sejumlah anggota DPR, termasuk dari Fraksi PAN dan PKS, mendorong agar BP Haji diberi kewenangan penuh dan operasional, bukan sekadar figuran. DPR ingin agar BP Haji dapat membangun sistem pelayanan haji dan umrah secara profesional, modern, dan tidak bergantung pada birokrasi lama.

Pada forum “Strategi Timwas Haji Menaikkan Standar Layanan dan Keselamatan Jamaah” (Komisi VIII DPR RI), diadakan pada 5 Juni 2025, Hidayat Nur Wahid – Fraksi PKS, Anggota Komisi VIII DPR RI menegaskan bahwa sistem penyelenggaraan haji harus diselaraskan dengan Arab Saudi, dan BP Haji perlu disamakan statusnya seperti kementerian agar komunikasi lintas negara lebih efektif.

Dalam rapat harmonisasi Baleg DPR RI pada 8 Juli 2025, Iman Sukri – Wakil Ketua Baleg DPR RI menjelaskan bahwa revisi UU memasukkan Pasal 1A, yang secara eksplisit menetapkan BP Haji setingkat kementerian untuk memperkuat otoritasnya dalam penyelenggaraan haji dan umrah

 

Jamaah Butuh Kepastian, Bukan Konflik Kewenangan
Revisi UU ini adalah peluang emas untuk membenahi tata kelola haji dan umrah secara sistemik. Namun jika konflik kepentingan dan tarik menarik kewenangan tidak diselesaikan sejak awal, maka yang akan dirugikan tetaplah jamaah — yang sudah menabung bertahun-tahun untuk berangkat ke Tanah Suci.

Pertanyaannya kini bukan siapa lebih berwenang. Tapi siapa yang benar-benar mampu melayani jamaah dengan integritas, efisiensi, dan kepastian hukum.