Hasan Gaido: Sudah Saatnya Indonesia Miliki Kementerian Haji dan Umrah

Hajiumrahnews.com – Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Kerajaan Arab Saudi awal Juli lalu bukan sekadar diplomasi kenegaraan. Di balik sambutan hangat Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) dan kesepakatan bilateral lintas sektor, tersirat peluang besar yang tak boleh dilewatkan: menjadikan sektor haji dan umrah sebagai poros kekuatan diplomasi dan ekonomi umat.

Peluang inilah yang dibaca tajam oleh Muhammad Hasan Gaido, Presiden Indonesia–Saudi Arabia Business Council (ISABC) dan pelaku industri haji-umrah selama lebih dari dua dekade. Dalam pandangan strategisnya yang diterima redaksi Hajiumrahnews.com, Hasan Gaido secara lugas menyerukan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah Republik Indonesia, bukan sekadar badan pelaksana (BP Haji).

“Jika Arab Saudi memiliki Ministry of Hajj and Umrah, maka Indonesia juga harus memiliki mitra sejajar. Bukan hanya agar struktur diplomatik seimbang, tetapi agar kekuatan tawar Indonesia dalam pengelolaan haji dan umrah meningkat secara signifikan,” tulisnya.

Menurutnya, urusan haji dan umrah bukan hanya soal layanan teknis, tapi juga menyangkut reputasi internasional Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Dari total penduduk 284 juta jiwa, 243 juta adalah Muslim. Namun hingga kini, kuota haji Indonesia masih stagnan di angka 221.000 jemaah. Padahal, kata Gaido, angka itu sudah tidak proporsional. Ia mendorong agar kuota haji tahun 2026 dinaikkan menjadi 243.000 jemaah, dan kuota haji khusus ditingkatkan menjadi 23.000 sebagai kompensasi atas dihapusnya jalur haji furoda.

Tak berhenti di persoalan kuota, Hasan Gaido mengajak pemerintah melihat ibadah haji dan umrah sebagai ekosistem ekonomi strategis. Dalam skema yang ia usulkan, Indonesia bisa membangun “Kampung Haji Indonesia” di Makkah atau Madinah — sebuah kawasan investasi multinasional yang menggunakan material, SDM, dan produk dari tanah air. Nilai proyeknya bisa mencapai Rp 15 triliun, namun potensi arus baliknya diyakini bisa mengoreksi defisit perdagangan Indonesia–Saudi dan membuka pasar ekspor produk halal, UMKM, furnitur, logistik, hingga jasa tenaga profesional Indonesia di sektor perhotelan dan kuliner.

“Bayangkan, mulai dari semen, keramik, kasur, hingga juru masak bisa berasal dari Indonesia. Ini bukan sekadar ibadah, tapi juga strategi membangun kemandirian ekonomi umat melalui rantai pasok global yang halal dan berkeadilan,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa haji dan umrah harus masuk dalam agenda strategis kerja sama bilateral Indonesia–Saudi, sejajar dengan isu energi dan investasi. Sebab sektor ini terbukti menyerap jutaan lapangan kerja, memutar industri halal nasional, dan memperkuat posisi Indonesia dalam peta ekonomi syariah dunia.

Sebagai penutup, Hasan Gaido mengajukan lima rekomendasi strategis: pertama, bentuk Kementerian Haji dan Umrah RI sebagai institusi setara mitra Saudi; kedua, naikkan kuota haji sesuai proporsi populasi Muslim Indonesia; ketiga, dorong proyek “Kampung Haji Indonesia” di tanah suci; keempat, jadikan sektor ini bagian dari diplomasi ekonomi antarumat Islam; dan kelima, libatkan UMKM dan sektor swasta secara sistematis dalam rantai pasok haji–umrah.

“Sudah saatnya kita tidak hanya sibuk mengatur antrean jemaah, tapi juga mulai mengatur arus barang, modal, dan jasa kita ke tanah suci,” tegasnya. “Indonesia harus naik kelas. Dari pengirim jemaah terbesar, menjadi penggerak peradaban ekonomi syariah global.”

 

Editor's Note:
Pernyataan Muhammad Hasan Gaido mencerminkan narasi baru dalam diplomasi haji dan umrah Indonesia. Usulan pembentukan kementerian khusus menjadi gagasan yang semakin relevan di tengah pembahasan revisi UU dan penguatan hubungan G-to-G Indonesia–Saudi. Apakah pemerintah akan menangkap peluang ini atau kembali terjebak dalam siklus regulasi administratif? Jawabannya akan menentukan arah masa depan umat.