Pandangan Strategis: BP Haji Harus Lebih Kuat dari Kemenag atau Sekalian Jadi Kementerian

Hajiumrahnews.com – Di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, muncul pandangan kritis sekaligus strategis dari praktisi senior yang telah lebih dari dua dekade terlibat dalam ekosistem haji dan umrah. Adalah Muhammad Hasan Gaido, Presiden Indonesia–Saudi Arabia Business Council (ISABC) sekaligus pendiri Gaido Travel, yang menyampaikan gagasannya secara terbuka: BP Haji harus lebih dari sekadar badan pelaksana. Kalau tidak bisa lebih kuat dari Kemenag, maka sekalian saja dibentuk Kementerian Haji dan Umrah RI.

Dalam pernyataan tertulisnya, Hasan Gaido menegaskan bahwa posisi Indonesia dalam diplomasi haji akan selalu timpang jika tidak memiliki struktur kelembagaan setara dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. "Dari awal saya menyampaikan, pengelolaan haji seharusnya tetap berada di bawah kementerian, bukan hanya sebuah badan," ujarnya. Menurutnya, status kementerian memberi kekuatan dalam diplomasi, koordinasi lintas sektor, serta kelincahan dalam mengelola kebijakan teknis dan hubungan internasional.

Pandangan ini mencuat seiring dengan momentum kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Arab Saudi baru-baru ini. Dalam pertemuan dengan Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri Saudi, Muhammad bin Salman (MBS), kedua negara menyepakati penguatan hubungan strategis dalam banyak sektor. Menurut Hasan, ini adalah momen emas bagi Indonesia untuk menjadikan haji dan umrah sebagai bagian dari prioritas agenda bilateral, tidak semata sebagai urusan ibadah, tapi juga diplomasi, perdagangan, dan investasi.

Lebih jauh, ia menggarisbawahi fakta demografis yang tak bisa diabaikan. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia — 243 juta jiwa dari total 284 juta penduduk — semestinya memiliki kuota haji yang lebih proporsional. Ia menyarankan agar kuota haji 2026 dinaikkan menjadi 243.000 jemaah, dan kuota haji khusus menjadi 23.000 jemaah. Kenaikan ini juga menjadi respons terhadap penghapusan jalur haji furoda serta meningkatnya daya beli kelas menengah Muslim di Indonesia.

Namun, gagasan Hasan Gaido tidak berhenti di ranah kebijakan kuota. Ia membawa visi besar: menjadikan haji dan umrah sebagai penggerak ekonomi dan kemandirian bangsa. Dengan skema seperti “Kampung Haji Indonesia” di Makkah atau Madinah, Hasan memperkirakan potensi investasi hingga Rp15 triliun bisa dikonversi kembali ke dalam negeri melalui ekspor barang dan jasa.

“Semen, marmer, kasur, makanan halal, hingga tenaga profesional — semuanya bisa disuplai dari Indonesia. Bahkan kita bisa mengoreksi defisit neraca perdagangan dengan Arab Saudi dan mengarah ke surplus,” jelasnya. Ia juga menyebut sektor ini bisa menjadi jalan penguatan ekosistem industri halal nasional — dari manufaktur, logistik, hingga penempatan SDM profesional.

Dalam rangka mewujudkan itu, ia merekomendasikan lima hal utama: ubah BP Haji menjadi Kementerian, naikkan kuota haji, masukkan sektor ini ke dalam prioritas perdagangan bilateral, dorong proyek G-to-G investasi haji, dan bangun ekosistem industri halal Indonesia berbasis kebutuhan ibadah haji-umrah.

“Haji dan umrah bukan hanya ibadah. Ia adalah sumber kekuatan ekonomi dan diplomasi Indonesia di dunia Islam. Jika dikelola secara terstruktur, profesional, dan sejajar dengan Saudi Arabia, maka Indonesia bukan sekadar negara pengirim jemaah terbesar — tapi juga penggerak peradaban ekonomi syariah dunia,” tutupnya.


Editor's Note:
Pandangan Muhammad Hasan Gaido ini muncul di tengah tarik-menarik peran antara BP Haji dan Kementerian Agama dalam pembahasan revisi UU Haji dan Umrah. Apakah pemerintah akan memperkuat BP Haji dengan kewenangan penuh, atau menjawab tantangan strategis ini dengan membentuk Kementerian Haji dan Umrah? Jawabannya akan menentukan wajah diplomasi ibadah Indonesia di tahun-tahun mendatang.