Hajiumrahnews.com – Dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang saat ini sedang digodok DPR RI, terselip sebuah janji yang mengundang harapan besar dari jutaan calon jamaah haji dan umrah: seluruh proses pelayanan akan disederhanakan melalui mekanisme “satu pintu layanan”. Janji ini tak sekadar jargon, melainkan dikaitkan langsung dengan pembentukan lembaga baru bernama Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BP Haji) — entitas setingkat kementerian yang disiapkan untuk menggantikan peran teknis Kementerian Agama.
Bagi jamaah, gagasan ini terdengar melegakan. Selama bertahun-tahun, mereka harus menghadapi alur yang rumit dan tersebar di banyak instansi: mulai dari mendaftar ke KUA, menghubungi travel PIHK atau PPIU, ke bank syariah untuk setoran awal, lalu menanti informasi dari Kemenag pusat, bahkan terkadang berhadapan langsung dengan perwakilan kedutaan. Tidak sedikit yang merasa bingung, apalagi ketika aturan berubah, sistem digital tidak sinkron, atau informasi tidak sampai ke daerah.
Konsep satu pintu layanan sejatinya ingin memangkas rantai birokrasi itu. Dalam narasi revisi UU, BP Haji diproyeksikan sebagai pengelola utama semua proses: dari pendaftaran, penetapan kuota, verifikasi dokumen, pelatihan manasik, pemrosesan visa, hingga pelaporan pascakeberangkatan. Sistem ini diharapkan bekerja secara digital dan terintegrasi, agar semua informasi jamaah tersimpan dalam satu database nasional yang bisa diakses dengan cepat dan transparan.
Namun, di balik janji itu, masih banyak pertanyaan besar yang menggantung. Apakah sistem ini realistis dijalankan dalam waktu dekat? Bagaimana nasib infrastruktur yang belum merata di daerah-daerah terpencil? Dan yang terpenting: apakah BP Haji benar-benar akan diberi wewenang penuh, atau hanya menjadi pelaksana administratif dari Kemenag?
Sejumlah pengamat mengingatkan bahwa gagasan satu pintu layanan bisa menjadi ilusi jika desain kelembagaannya tidak tuntas sejak awal. Selama ini, problem utama terletak pada tumpang tindih kewenangan antara Kemenag pusat, kantor wilayah, dan mitra penyelenggara. Jika dalam revisi UU ini BP Haji tidak diberikan otoritas tunggal yang sah secara hukum, maka risiko “dipingpong antar instansi” akan tetap menghantui jamaah.
Di sisi lain, tantangan juga muncul dari sisi pengguna. Mayoritas calon jamaah haji Indonesia adalah warga lanjut usia, banyak di antaranya tidak akrab dengan sistem digital. Jika pendekatan satu pintu hanya dirancang dalam format daring, tanpa dukungan petugas pendamping dan titik layanan fisik yang memadai, maka kelompok rentan justru akan semakin kesulitan mengakses haknya.
Masalah lain adalah kesiapan sistem digital itu sendiri. Hingga kini, belum ada kejelasan apakah BP Haji akan mengembangkan aplikasi nasional sendiri, atau tetap bergantung pada platform milik Kemenag. Jika data jamaah tersebar di berbagai sistem yang tidak saling terhubung, maka konsep integrasi hanya akan menjadi formalitas teknis.
Di tengah berbagai tantangan itu, publik tetap berharap bahwa semangat reformasi birokrasi dalam revisi UU ini benar-benar dijalankan dengan serius. Janji satu pintu layanan hanya akan bermakna jika ada transparansi sistem, akuntabilitas pengelola, dan kemudahan akses yang dirasakan langsung oleh jamaah.
“Yang dibutuhkan jamaah bukan sekadar label satu pintu. Tapi sistem yang memang terbuka, sederhana, dan benar-benar memudahkan proses ibadah mereka,” ujar seorang pegiat advokasi jamaah haji di Jakarta yang telah lama mengamati dinamika penyelenggaraan haji nasional.
Jika BP Haji ingin menjalankan fungsi strategisnya dengan efektif, maka desain kelembagaan, kapasitas SDM, dan sistem informasi publik harus dibangun dari hulu ke hilir. Tanpa itu semua, janji satu pintu layanan bisa berujung pada kegagalan sistematis yang justru menyulitkan jamaah, bukan mempermudah.
Revisi UU Haji dan Umrah adalah peluang besar bagi negara untuk menata ulang wajah pelayanan ibadah umat. Tapi peluang itu bisa hilang begitu saja, jika sistem yang dibangun hanya tampak rapi di atas kertas, namun kacau dalam praktik. Dan pada akhirnya, yang dirugikan tetaplah mereka yang sudah menabung bertahun-tahun, berharap ibadahnya tidak terganjal oleh keruwetan administrasi.
Editor’s Note: Revisi UU Haji dan Umrah saat ini tengah menanti pengesahan di DPR. Harapan publik tidak hanya pada pasal-pasal yang tertulis, tapi juga pada sistem yang benar-benar berjalan. Apakah satu pintu layanan akan menjadi solusi, atau sekadar slogan baru dalam wajah lama birokrasi?