
Hajiumrahnews.com - Tidak semua perjalanan ke luar negeri adalah wisata, dan tidak semua yang membawa paspor adalah turis. Ada perjalanan yang membawa mata, tapi juga hati, jiwa, dan air mata. Itulah umrah — perjalanan ibadah yang tak bisa disamakan dengan wisatawan, apalagi turis.
Namun kini, setelah UU Nomor 14 Tahun 2025 disahkan, batas antara umrah dan wisata mulai kabur. Umrah kini bisa dilakukan secara mandiri—cukup membuka aplikasi, memesan tiket, mengurus visa, dan berangkat. Semudah memesan hotel di Mekah seperti memilih resort di Bali.
Padahal umrah adalah perjalanan batin, yang rukunnya ditentukan secara syar’i. Sejak awal, negara hadir untuk memastikan ibadah ini terlaksana dengan aman, tertib, dan bermartabat.
Ketika tanggung jawab itu dilonggarkan, bahkan dilegalkan dalam undang-undang, para ulama dan cendekiawan merasa ada yang hilang: bimbingan syar’i dan perlindungan jamaah di Tanah Suci.
Seorang kiai di Sumenep pernah berpesan,
“Umrah itu bukan wisata religi, tapi perjalanan takzim. Kalau tak didampingi pembimbing yang hanif, siapa yang memastikan ibadahnya sah? Siapa yang menjaga jamaah dari kesesatan?”
Pesan itu bukan kekhawatiran kosong. Tiap tahun, ada jamaah yang tersesat di bandara, kehilangan paspor, gagal berangkat karena tertipu agen abal-abal, atau telantar tanpa makanan. Semua itu terjadi ketika tanggung jawab negara diganti dengan logika pasar.
Kini, dengan dalih modernisasi, negara justru tampak ingin “mundur” dari peran pengayomannya. Umrah diperlakukan seperti produk komersial: siapa pun bisa berangkat asal memenuhi syarat administratif. Padahal, nilai ibadah tidak terletak pada kemudahan administratif, tapi pada kesungguhan menjaga makna.
Arab Saudi, dengan Vision 2030-nya, memang menjadikan umrah bagian dari industri pariwisata religi. Itu wajar, sebab mereka tuan rumah.
Namun Indonesia punya tanggung jawab berbeda — menjaga umat, bukan sekadar mengirim wisatawan.
UU baru ini tampak terlalu respon-Saudi, bukan visi-Indonesia. Ia meniru logika bisnis, bukan logika pelayanan publik. Akibatnya, perlindungan jamaah yang seharusnya menjadi amanat konstitusi justru terabaikan.
Pertanyaan sederhana: jika jamaah mandiri tertipu atau tersesat, siapa yang akan menolong? Kementerian? Asosiasi? Maskapai? Atau harus menunggu viral di media sosial dulu baru ditangani?
Jika umrah mandiri dibiarkan tanpa pengawasan, ibadah bisa berubah menjadi transaksi spiritual.
Bayar, berangkat, selfie, pulang. Tanpa bimbingan, tanpa pendalaman makna, tanpa rasa takzim.
Padahal Rasulullah SAW mencontohkan bahwa ibadah tidak hanya soal niat pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial. Ada imam, ada jamaah, ada tata kelola.
Negara semestinya hadir untuk menegakkan nilai-nilai itu—bukan melepaskannya atas nama kemajuan.
Inilah kegelisahan para ulama, akademisi, dan penyelenggara umrah profesional. Mereka bukan anti-modernisasi, tetapi menolak kekacauan yang dikemas dengan nama modernisasi.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) sejak awal sudah membaca arah perubahan ini. Karena itu, langkah Judicial Review terhadap UU No.14 Tahun 2025 bukan bentuk perlawanan, tetapi ikhtiar konstitusional agar negara tidak kehilangan wajahnya dalam mengatur ibadah umat.
“Kami tidak ingin jamaah menjadi korban, lalu negara berkata: ‘Itu konsekuensi dari pilihan mandiri.’ Negara tidak boleh cuci tangan atas nama kebebasan,” tegas Ulul Albab, Ketua Litbang AMPHURI.
AMPHURI berkomitmen tetap menjadi mitra strategis pemerintah, namun kemitraan sejati hanya bisa berdiri di atas kebenaran dan tanggung jawab moral.
Kita boleh menyederhanakan proses, tetapi jangan pernah menyederhanakan makna.
Kita boleh mendigitalisasi layanan, tetapi jangan mendigitalisasi nurani.
Sebab umrah bukan sekadar destinasi, melainkan penyucian diri untuk pulang sebagai hamba yang lebih imani, islami, dan ihsani.
Inilah ujian bangsa yang sedang berlari menuju Indonesia Emas 2045:
Apakah kita mampu memodernkan agama tanpa memudarkan rohnya?