Hajiumrahnews.com – Lebih dari dua abad silam, seorang ulama keturunan Nabi Muhammad SAW asal Aceh bernama Habib Bugak Asyi mewakafkan hartanya di Makkah demi kemaslahatan jamaah haji dari tanah kelahirannya. Langkah mulia itu kini menjadi salah satu contoh paling sukses dalam pengelolaan wakaf internasional yang berdaya guna hingga hari ini.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Agama RI, kisahnya bermula pada awal 1800-an. Habib Bugak Asyi menggagas pengumpulan dana dari para dermawan Aceh untuk membeli sebidang tanah di dekat Masjidil Haram. Tanah tersebut kemudian dijadikan wakaf untuk menampung jamaah asal Aceh yang berhaji maupun bermukim sementara di Tanah Suci. Ia tak hanya berwacana, tetapi ikut menyumbang dari hartanya dan berangkat langsung ke Makkah.
Tanah yang dibeli itu didirikan sebuah penginapan bernama Baitul Asyi, yang hingga kini dikenal sebagai rumah transit jamaah Aceh saat berhaji. Pada masa itu, perjalanan haji via laut memakan waktu lama, bahkan hingga bertahun-tahun. Banyak jamaah dari Nusantara akhirnya bermukim atau tinggal sementara di Makkah.
Memasuki abad ke-20, ketika kekuasaan berganti ke Dinasti Saudi, sistem pertanahan di Arab disempurnakan. Setiap aset, termasuk wakaf, harus memiliki penanggung jawab. Para wakif dari Aceh menunjuk Habib Bugak Asyi sebagai nazir wakaf tersebut. Meskipun awalnya menolak, karena takut niat suci ini diwariskan turun-temurun sebagai harta pribadi, beliau akhirnya menyetujui dengan syarat tegas: manfaat wakaf harus terus diberikan kepada jamaah Aceh.
Dalam ikrar tertulisnya, Habib Bugak menyatakan bahwa jika tidak ada lagi jamaah Aceh berhaji, maka aset wakaf digunakan untuk pelajar Jawi di Makkah. Jika pelajar pun tidak ada, maka aset tersebut digunakan oleh mahasiswa Makkah. Jika tak ada juga, barulah diserahkan kepada Imam Masjidil Haram.
Ketika Kerajaan Arab Saudi memulai proyek perluasan Masjidil Haram, Baitul Asyi terkena dampaknya. Namun, pemerintah memberi kompensasi berupa dana besar, yang kemudian digunakan nazir untuk membeli tanah baru sekitar 500 meter dari Masjidil Haram. Di atasnya dibangun hotel dengan sistem bagi hasil—dan dari situlah dana wakaf disalurkan rutin ke jamaah Aceh.
Pada musim haji 2023, tercatat lebih dari Rp370 miliar disalurkan kepada jamaah haji Aceh melalui dana wakaf ini. Setiap jamaah menerima sekitar 1.500 riyal atau setara Rp5,9 juta. Penyaluran dilakukan setiap tahun oleh Nazir Wakaf Habib Bugak melalui kantor resmi Baitul Asyi di Aziziyah, Makkah.
Habib Bugak bukan satu-satunya wakif dari Nusantara di Tanah Suci. Dalam catatan Muhammad Subarkah dalam Tawaf Bersama Rembulan, disebutkan bahwa dahulu ada banyak rubath Jawi atau rumah wakaf untuk para peziarah dari Asia Tenggara. Sebagian besar kini hilang atau berubah fungsi, namun jejak sejarahnya tetap abadi dalam ingatan kolektif.
Bahkan beberapa lokasi ikonik seperti hotel Grand Zamzam dan pelataran Masjidil Haram diyakini berdiri di atas tanah wakaf orang Indonesia. Ada pula kasus pencarian keturunan seorang wanita Indonesia bernama Fatimah, yang wakafnya digunakan untuk pelebaran Masjidil Haram—namun keturunannya tidak ditemukan meski kompensasi besar telah disiapkan.
Wakaf dalam Islam merupakan amal jariyah utama. Dalam sejarah Islam, wakaf dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Umar bin Khattab tercatat sebagai sahabat pertama yang secara formal mewakafkan tanahnya di Khaibar atas anjuran Nabi.
Seiring perkembangan Islam, institusi wakaf menjadi tulang punggung pembangunan sosial—membiayai sekolah, rumah sakit, beasiswa, hingga sarana umum. Wakaf dikelola oleh nazir dan tidak boleh diwariskan. Tujuannya murni untuk maslahat umat, bukan keuntungan pribadi.
Keberhasilan pengelolaan wakaf Habib Bugak Asyi merupakan wujud nyata dari visi panjang seorang ulama yang memahami esensi Islam dan nilai keabadian amal jariyah. Dengan prinsip amanah, transparansi, dan profesionalisme, wakaf ini tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan memberikan manfaat nyata hingga kini.
Dari Aceh ke Makkah, dari 1800-an hingga abad modern—kisah Habib Bugak Asyi adalah pengingat bahwa amal yang diniatkan lillahita’ala akan terus hidup dan memberi manfaat tanpa henti.
📌 Sumber utama tulisan ini berasal dari artikel Hasanul Rizqa di Republika.co.id dengan judul Wakaf Orang Aceh di Tanah Suci. Tulisan telah disusun ulang oleh tim redaksi Hajiumrahnews.com untuk kepentingan edukasi dan dokumentasi sejarah umat.