Hajiumrahnews.com — Tak banyak yang tahu bahwa Tencent, raksasa teknologi dan game asal Tiongkok, dulunya hanyalah aplikasi chat gratis tanpa keuntungan finansial. Namun di tangan jenius Ma Huateng, perusahaan ini tumbuh menjadi salah satu konglomerat digital terbesar di dunia, dengan valuasi mencapai ratusan miliar dolar dan pendapatan tahunan ratusan triliun rupiah.
Melansir South China Morning Post, pada kuartal pertama 2025, Tencent mencatat pendapatan 184,5 miliar yuan atau sekitar Rp429 triliun, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Namun di balik dominasi global itu, ada kisah perjuangan panjang dari sosok sederhana asal Guangdong yang kini dijuluki “Pony Ma”.
Ma Huateng lahir di Guangdong, China, pada 29 Oktober 1971, dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai manajer di pelabuhan milik negara. Setelah lulus dari Universitas Shenzhen dengan gelar Sarjana Ilmu Komputer pada tahun 1993, Ma sempat bekerja di perusahaan swasta dengan gaji hanya US$176 per bulan.
Tak puas dengan rutinitas kerja dan gaji kecil, ia memutuskan keluar dan memulai petualangan bisnisnya sendiri — langkah yang kelak mengubah wajah industri digital dunia.
Bersama empat rekannya — Chen Yidan, Xu Chenye, Zeng Liqing, dan Zhang Zidong — Ma Huateng mendirikan Tencent Holdings Ltd pada 23 November 1999 di Shenzhen.
Produk pertama mereka adalah aplikasi pesan instan yang meniru model ICQ milik AOL. Meski gratis dan tanpa pendapatan, aplikasi tersebut berhasil meraih 1 juta pengguna hanya dalam setahun.
Kesulitan dana membuat Ma Huateng berkeliling mencari investor hingga akhirnya mendapatkan US$4,4 juta dari IDG Ventures dan PCCW, masing-masing dengan kepemilikan 20% saham.
Pendanaan itu menjadi titik balik. Pada tahun 2001, Tencent meluncurkan MobileQQ, versi pesan instan untuk ponsel, yang mencatat keuntungan bersih US$1,2 juta dari penjualan US$5,9 juta.
Kesuksesan MobileQQ membawa Tencent melantai di Bursa Efek Hong Kong pada tahun 2004. Setahun kemudian, Tencent meluncurkan Qzone, platform jejaring sosial yang mencapai 492 juta pengguna aktif pada 2010.
Di tahun yang sama, Ma Huateng kembali membuat gebrakan dengan meluncurkan WeChat (Weixin), aplikasi pesan instan yang menggabungkan fitur chat, pembayaran digital, game, hingga platform bisnis.
WeChat kini menjadi aplikasi super yang digunakan oleh lebih dari 1,3 miliar pengguna aktif di seluruh dunia.
Setelah mendominasi sektor komunikasi, Ma Huateng membawa Tencent masuk ke industri game pada tahun 2015 melalui game Honor of Kings, diikuti versi globalnya Arena of Valor dua tahun kemudian.
Tak berhenti di situ, Tencent memperluas sayapnya dengan mengakuisisi dan bermitra dengan berbagai studio global seperti Riot Games (League of Legends), Epic Games (Fortnite), dan Activision Blizzard (Call of Duty Mobile).
Kini, Tencent menguasai 13% pangsa pasar game dunia, dengan pendapatan mencapai US$10 miliar pada tahun 2016 — menjadikannya perusahaan game terbesar di dunia.
Kesuksesan ini membawa Ma Huateng ke jajaran elite dunia. Menurut Forbes 2024, ia menempati posisi orang terkaya kedua di China dengan kekayaan mencapai US$67,8 miliar atau sekitar Rp1.131 triliun.
Meski dikenal pendiam dan rendah hati, gaya kepemimpinan Ma yang berorientasi pada riset dan inovasi menjadi kunci keberhasilan Tencent. Ia kerap disebut sebagai “Steve Jobs-nya Asia” karena visinya menggabungkan teknologi, hiburan, dan gaya hidup dalam satu ekosistem digital.
Hari ini, Tencent bukan lagi sekadar perusahaan teknologi, melainkan ekosistem digital raksasa yang meliputi aplikasi, e-commerce, fintech, hingga hiburan.
Mulai dari WeChat Pay, Tencent Cloud, hingga investasi strategis di Spotify, Tesla, dan Universal Music, semuanya menunjukkan bagaimana Ma Huateng membangun kerajaan global dari nol.
Perjalanan Ma Huateng dari seorang karyawan bergaji kecil menjadi taipan teknologi adalah bukti nyata bahwa visi jangka panjang dan keberanian berinovasi dapat mengubah sejarah — bahkan dari sebuah aplikasi chat gratisan menjadi raksasa game dunia.