Kisah Kaldi dan Perjalanan Kopi: Dari Zikir Para Sufi hingga Secangkir Kopi di Kaki Gunung Karang

Hajiumrahnews.com — Di sebuah sore berabad-abad lalu di dataran tinggi Kaffa, Ethiopia, seorang gembala bernama Kaldi melihat kambing-kambingnya menari. Mereka melompat dan berjingkrak seolah mendapat semangat tak biasa. Rasa heran membawanya menelusuri jejak hewan-hewan itu, hingga menemukan mereka memakan biji merah dari semak liar.

Kaldi ikut mencicipi. Rasanya pahit, namun memberi kejernihan pikiran dan mengusir kantuk sepanjang malam. Biji itu kemudian dibawa ke seorang imam sufi. Awalnya sang imam panik dan membuangnya ke api. Namun dari bara itu, aroma sangrai kopi pertama menguar—hangat, harum, dan memikat.

Kopi mulai diseduh para sufi di Yaman, diminum selepas tahajud untuk menjaga kesadaran dalam berzikir. Dari sana, ia menyebar ke Mekkah, Kairo, Damaskus, hingga Istanbul. Di setiap tempat, kopi menjadi pemantik percakapan dan pemikiran.

Muncullah qahveh khaneh—kedai kopi pertama di dunia. Bukan sekadar tempat minum, tapi ruang diskusi bebas tentang agama, politik, dan masa depan. Justru inilah yang membuat penguasa khawatir. Di beberapa kota, kopi sempat diharamkan, bukan karena memabukkan, melainkan karena dianggap membuat rakyat berpikir terlalu bebas.

Ketika kopi sampai ke Eropa, ia dicap sebagai “minuman setan” oleh sebagian gereja. Namun Paus Clement VIII justru meminta secangkir untuk dicicipi. Setelah menyeruput, ia berkata, “Minuman ini terlalu nikmat untuk hanya dinikmati kaum kafir. Mari kita baptis.” Sejak itu, kopi resmi diterima sebagai minuman yang terhormat.

Dari tangan seorang biarawan Capuchin, kopi hitam dicampur susu, menghasilkan warna mirip jubah cokelat tua ordo tersebut. Minuman ini pun dinamakan Cappuccino—lambang rekonsiliasi antara iman dan rasa.

Belanda kemudian mencuri bibit kopi dari Yaman, menanamnya di Jawa, lalu menyebarkannya ke Sumatera, Sulawesi, dan Karibia. Di tanah jajahan, kopi menjadi komoditas ekspor untuk Eropa. Ironisnya, banyak petani tak pernah merasakan seduhan kopi yang mereka tanam.

Kini, kopi hadir di bandara, kafe, mesin otomatis, hingga layar Instagram. Ia tak lagi terikat biara atau masjid, tapi masih membawa jejak sejarah: Kaldi, para sufi, para biarawan, dan para petani yang memeras keringat demi secangkir kenikmatan.

Kopi mengajarkan bahwa pahit bukanlah musuh. Justru dari pahitlah kesadaran lahir, percakapan tumbuh, dan peradaban bergerak. Seperti kopi yang dulu pernah dituduh sesat, kadang sesuatu yang dianggap salah bisa menjadi legenda.

Kini, jejak panjang perjalanan kopi juga bisa Anda rasakan langsung di tanah Banten. Di kawasan wisata halal Baduy Outbound, Banten Restoran menyajikan Kopi Gunung Karang—kopi hitam khas Gunung Karang dengan aroma earthy dan cita rasa yang kuat. Diseduh hangat, setiap seruputnya seperti mengajak Anda menyusuri sejarah dari Kaldi hingga ke peradaban hari ini. Ayo, ceruput kopi hitamnya dan nikmati warisan rasa Nusantara di tengah suasana alam Baduy Outbound yang menenangkan.

 

Catatan Redaksi: Tulisan ini diadaptasi dari artikel “Asal Usul Kopi” karya Agus Maksum, berdasarkan hasil penelusuran sejarah kopi dari berbagai sumber.