Hajiumrahnews.com – Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) mengkritisi draf revisi RUU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, karena mengandung ketentuan yang dianggap merugikan penyelenggara dan jamaah.
Ketua Umum Amphuri, Firman M. Nur, menyebutkan bahwa Pasal 8 Ayat (4) dalam draf RUU tersebut menyatakan bahwa "kuota haji khusus paling tinggi 8 persen". Menurutnya, frasa "paling tinggi" sangat elastis, tidak mengikat, dan bisa menjadi pasal karet yang mudah dimanipulasi sesuai kehendak pihak tertentu. Ia menyatakan:
“Jangan ada pasal karet. Karena, dalam pasal 8 Ayat 4, kuota haji khusus disebut paling tinggi delapan persen.”
Firman memperingatkan bahwa ketentuan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang selama lebih dari sepuluh tahun berjalan secara profesional. Kuota yang selama ini terealisasi berada di kisaran 7–8 persen dari total kuota nasional, dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) secara profesional. Namun jika frasa "paling tinggi" tetap dipertahankan, peluang pengurangan secara sepihak bisa terjadi dan mengurangi hak jamaah dalam memilih layanan ibadah berkualitas.
Sebagai solusinya, Amphuri mengusulkan:
“Kuota haji khusus ditetapkan sekurang‑kurangnya 8 persen dari kuota nasional. Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah dan penyelenggara.”
Selain itu, Ketua Dewan Kehormatan Amphuri Zainal Abidin menambahkan bahwa selama ini regulasi UU No. 8 Tahun 2019 gagal mengantisipasi perubahan ketika Arab Saudi menawarkan kuota tambahan. Ia mencontohkan pada tahun 2022, ketika tawaran kuota tambahan dari Saudi tidak dapat diserap oleh Indonesia karena batas maksimum 8 persen yang dibatasi undang-undang.
“Akibatnya kesempatan itu hilang,” tegas Zainal, menyebut hal tersebut sebagai bukti bahwa UU Haji dan Umrah tidak responsif terhadap dinamika antrean jamaah dan peluang tambahan kuota.
Amphuri berharap DPR dan pemerintah terbuka terhadap masukan dari pelaku industri haji. Revisi UU ini dinilai sebagai momentum untuk menghadirkan regulasi yang lebih adil, fleksibel, dan berpihak pada kepentingan jamaah dan penyelenggara nasional.