Hajiumrahnews.com - Saat ini, kita hidup di era yang oleh Alvin Toffler (1980) disebut sebagai gelombang ketiga peradaban manusia. Kemajuan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), telah membawa perubahan besar yang tidak terbayangkan sebelumnya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Kehadiran generative AI seperti ChatGPT, Claude, dan Gemini telah mengubah lanskap akademik secara fundamental.
Namun, transformasi ini tidak datang tanpa tantangan. Survei Persepsi Integritas (SPI) Pendidikan yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2024 mencatat bahwa sebanyak 43% responden menyatakan praktik plagiarisme masih terjadi di kampus. Data ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari krisis integritas akademik yang semakin nyata di era digital.
Krisis ini mengingatkan kita pada peringatan Imam al-Ghazali dalam Ihya 'Ulum al-Din: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Kini kita menghadapi dilema baru: bagaimana jika ilmu itu sendiri diperoleh melalui cara yang meragukan keabsahannya?
Islam sebagai agama yang menjunjung ilmu pengetahuan juga menekankan pentingnya prinsip pertimbangan antara manfaat dan mudarat dalam setiap tindakan. AI, jika digunakan secara bijak, memiliki potensi besar dalam membantu mahasiswa memahami konsep yang kompleks, memperkaya sudut pandang dalam riset, bahkan menerjemahkan naskah-naskah klasik yang sebelumnya sulit diakses.
Namun, bila AI digunakan tanpa pemahaman, semata-mata untuk menyelesaikan tugas tanpa internalisasi makna, maka proses pembelajaran berubah menjadi sekadar transfer data kosong. Dalam pandangan Islam, ilmu bukanlah sekadar informasi, tetapi hikmah yang merasuk dalam jiwa dan membentuk akhlak.
Melarang total penggunaan AI tentu bukan solusi, karena bersikap anti terhadap teknologi hanya akan menjadikan kita tertinggal. Namun membiarkan penggunaannya tanpa kontrol juga berbahaya. Maka, jalan wasathiyyah atau moderat adalah prinsip yang harus diambil.
Shiddiq (Kejujuran):
Kejujuran menuntut transparansi. Siapa pun yang menggunakan AI dalam menyusun karya akademik harus menyatakan secara terbuka sejauh mana AI digunakan. Langkah ini sudah diterapkan oleh Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui formulir "AI Disclosure" yang wajib diisi dalam setiap tugas.
Amanah (Tanggung Jawab):
Mahasiswa tetap bertanggung jawab atas seluruh isi karya yang dihasilkan, meskipun dibantu AI. Mereka harus mampu memahami dan mempertanggungjawabkan setiap kalimat. Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Al-'Adl (Keadilan):
Tidak semua mahasiswa memiliki akses ke teknologi AI premium. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus memastikan akses yang adil melalui program semacam AI for All, agar semua sivitas akademika memiliki peluang yang sama untuk belajar dan berkarya.
Di tingkat perguruan tinggi, berbagai langkah konkret telah dilakukan untuk mengintegrasikan AI secara etis dan bertanggung jawab. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi pelopor dengan membentuk Artificial Intelligence and Literacy Innovation Institute (ALII)—sebuah pusat riset dan literasi AI yang memadukan teknologi dengan nilai-nilai Islam.
Institut Teknologi Bandung (ITB) telah menyusun kebijakan berbasis AI dalam kurikulum, membentuk satuan tugas AI, serta mengembangkan pusat riset AI sejak 2019. Universitas Indonesia dengan Artificial Intelligence Center Indonesia (AICI) dan berbagai kampus lain seperti UGM, Unair, dan Binus juga telah mengembangkan program studi berbasis AI. Kesadaran akan pentingnya literasi dan etika AI kini telah menjadi gerakan nasional.
Namun, pendekatan khas perguruan tinggi Islam terletak pada integrasi antara teknologi dan maqashid al-syari’ah. Program AI Ethics Workshop yang digagas oleh ALII, misalnya, mengajarkan penggunaan AI tidak hanya secara teknis, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai etika Islam.
AI pada dasarnya hanyalah cermin. Ia memantulkan karakter moral dari penggunanya. Jika digunakan dengan niat dan akhlak yang benar, AI dapat menjadi berkah. Namun jika dipakai untuk kelicikan intelektual, ia bisa menjadi bencana.
Pesan Rasulullah Saw. bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia tetap sangat relevan di era ini. Teknologi boleh canggih, tetapi akhlak tetap harus unggul. Sebab pada akhirnya, bukan teknologi yang menentukan arah peradaban, melainkan manusia dan nilai yang dibawanya.
Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar Hukum Tata Negara
Wakil Rektor Bidang Akademik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta