Umrah Mandiri: Langkah Berani Kemenhaj yang Bisa Guncang Jaringan Mafia, tapi Sisakan PR Besar

Hajiumrahnews.com — Geliat bisnis perjalanan menuju Tanah Suci yang selama ini dikenal sebagai pasar tertutup tiba-tiba terguncang oleh palu godam digital. Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) resmi merilis skema Umrah Mandiri, sebuah sistem yang memungkinkan jemaah mengurus seluruh proses ibadah—mulai dari visa, akomodasi, hingga tiket pesawat—secara independen.

Langkah ini disebut-sebut sebagai reformasi paling progresif dalam sejarah penyelenggaraan ibadah umrah, dan menjadi kartu as pemerintah untuk memutus rantai praktik mafia perjalanan ibadah yang telah lama merugikan jemaah.

Melalui revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025, sistem Umrah Mandiri dirancang agar lebih transparan dan efisien. Di atas kertas, kebijakan ini menjanjikan penghematan biaya hingga 50 persen, karena memangkas birokrasi, komisi perantara, dan margin besar dari model paket all-in yang selama ini dikelola segelintir pelaku lama.

Namun, di balik semangat reformasi itu, muncul riak perlawanan. Sejumlah asosiasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menilai kebijakan ini terlalu prematur dan berisiko tinggi bagi perlindungan jemaah. Mereka khawatir, tanpa pengawasan ketat, banyak calon jemaah justru menjadi korban penipuan visa ilegal.

Bagi para pengamat, penolakan ini bukan semata karena alasan perlindungan, melainkan kekhawatiran kehilangan captive market yang selama ini menjadi sumber keuntungan utama industri travel konvensional.

Efisiensi Besar, Risiko Tak Kecil

Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menilai efisiensi biaya yang ditawarkan kebijakan baru ini memang besar, tetapi tidak tanpa konsekuensi.

“Semuanya risikonya ditanggung sendiri, risiko penipuan, risiko tersesat, risiko sakit, bahkan yang paling ekstrem ya, na’udzubillah, bisa meninggal. Kalau dulu tanggung jawab di PPIU, sekarang jemaah harus siap jadi manajer logistik bagi dirinya sendiri,” ujarnya.

Dengan sistem baru ini, tanggung jawab penuh bergeser dari penyelenggara ke jemaah. Ibadah bisa terasa lebih murah, tetapi jauh lebih berisiko jika jemaah tidak memahami prosedur atau tidak memiliki literasi digital yang memadai.

Liberalisasi Ibadah dan Krisis Spiritualitas

Kritik lain datang dari kalangan ormas Islam dan akademisi. Mereka menilai Umrah Mandiri berpotensi melahirkan liberalisasi ibadah, di mana jemaah menjadi sekadar konsumen aplikasi tanpa pendampingan spiritual.

“Ketika ibadah diproses seperti transaksi e-commerce, kesakralan bisa tereduksi. Mutawwif yang selama ini membimbing, mungkin tergantikan oleh algoritma. Ini berbahaya bagi jemaah yang belum matang secara spiritual maupun literasi digital,” ujar seorang pengamat keagamaan dari UIN Jakarta.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Dengan banyaknya jemaah pemula dan lansia, pendampingan spiritual menjadi aspek penting agar ibadah tidak kehilangan nilai sakral.

Tanggung Jawab Negara Tak Boleh Lepas

Kebijakan Umrah Mandiri juga menimbulkan pertanyaan hukum baru: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi penipuan digital atau kecelakaan?

Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mengingatkan agar negara tetap hadir di tengah perubahan ekosistem ini.

“Kita mendukung inovasi, tetapi negara tidak boleh lepas tangan. Harus ada standar minimal layanan, perlindungan asuransi, dan mekanisme pengawasan yang jelas,” kata Marwan usai rapat dengan Kemenhaj di Kompleks Parlemen, Selasa (28/10/2025).

Marwan menilai, semangat digitalisasi tidak boleh mengorbankan keselamatan jemaah, apalagi jika sistemnya masih rawan disalahgunakan. “Jangan sampai efisiensi biaya justru membuka peluang baru bagi praktik curang,” ujarnya.

Ancaman Devisa dan Dominasi Asing

Selain persoalan perlindungan jemaah, kebijakan Umrah Mandiri juga menimbulkan isu ekonomi yang lebih dalam. Sistem baru ini terintegrasi dengan platform digital Arab Saudi seperti Nusuk, yang menyediakan layanan visa, hotel, dan transportasi.

Dengan jumlah jemaah Indonesia mencapai 1,8 juta orang per tahun, potensi aliran devisa langsung ke luar negeri pun menjadi sangat besar.

Mustolih Siradj menilai, aturan baru itu justru menempatkan Indonesia hanya sebagai pasar pengguna, bukan pelaku ekonomi.

“Entitas bisnis asing tidak diberikan syarat ketika membuka layanan di Indonesia. Ini yang dianggap tidak adil dan bisa mematikan pelaku usaha nasional,” katanya.

Ia menyarankan agar pemerintah menyiapkan strategi kompensasi, misalnya memberi insentif atau cashback bagi jemaah mandiri yang menggunakan maskapai nasional dan layanan domestik.

Pertarungan yang Tak Sekadar Digital

Bagi banyak pihak, Umrah Mandiri adalah langkah revolusioner yang menandai era baru perjalanan ibadah: lebih terbuka, efisien, dan modern. Namun, di balik itu tersimpan pertarungan lain yang lebih kompleks — pertarungan atas perlindungan hukum, kedaulatan ekonomi, dan spiritualitas ibadah.

Reformasi ini ibarat pedang bermata dua: di satu sisi mampu menebas mafia dan praktik monopoli, di sisi lain bisa melukai diri sendiri jika tidak dibarengi kesiapan regulasi dan sistem pengawasan yang matang.

“Digitalisasi memang pedang tajam,” ujar Mustolih, “tapi kalau diayunkan tanpa keseimbangan nilai, ia bisa berubah jadi bumerang.”