Hajiumrahnews.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 di Kementerian Agama. Salah satu fokus penyidikan adalah keterlibatan Khalid Zeed Abdullah Basalamah (KZM/KB), pemilik PT Zahra Oto Mandiri (Uhud Tour) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Mutiara Haji.
Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Khalid dan jemaahnya awalnya berangkat menggunakan jalur haji furoda, namun kemudian berpindah ke kuota khusus tambahan yang ditawarkan oleh PT Muhibbah Mulia Wisata, milik Ibnu Mas’ud.
“Awalnya pesan furoda, tapi ternyata menggunakan kuota khusus tambahan dari 20 ribu kuota itu. Rombongan Pak Ustaz KB termasuk di dalamnya,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK.
Menurut Asep, jamaah haji khusus membayar biaya lebih besar untuk bisa berangkat di tahun yang sama, berbeda dengan haji reguler yang memiliki masa tunggu hingga puluhan tahun.
KPK menilai penggunaan kuota tambahan khusus ini bermasalah karena berdasarkan SK Menag Yaqut Cholil Qoumas tertanggal 15 Januari 2024, pembagian kuota tambahan dibagi rata 10.000 reguler dan 10.000 khusus. Padahal aturan UU No. 8 Tahun 2019 menetapkan komposisi 92 persen reguler dan 8 persen khusus. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler gagal berangkat.
Usai diperiksa hampir delapan jam, Khalid menyebut dirinya dan jemaahnya sebagai korban.
“Kami awalnya sudah siapkan furoda. Namun Ibnu Mas’ud menawarkan visa resmi kuota tambahan. Akhirnya jemaah kami ikut Muhibbah karena Uhud Tour belum dapat kuota,” jelasnya.
Ia menyebut total 122 jemaah Uhud Tour ikut dalam rombongan PT Muhibbah pada 2024.
KPK menduga praktik jual beli kuota haji khusus melibatkan oknum pejabat Kemenag. Setoran travel disebut mencapai USD 2.600–7.000 (Rp41–113 juta) per kuota, dialirkan berjenjang hingga ke pejabat. Uang ini berasal dari penjualan tiket haji dengan harga tinggi kepada jemaah, disertai janji berangkat pada tahun yang sama.
Sebagian hasil korupsi diduga digunakan untuk membeli aset, termasuk dua rumah mewah senilai Rp6,5 miliar di Jakarta Selatan yang sudah disita KPK.
Kasus ini resmi naik ke penyidikan pada 8 Agustus 2025 dengan kerugian negara ditaksir lebih dari Rp1 triliun.