Hajiumrahnews.com — Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka kembali menjadi sorotan karena tingkat okupansi yang sangat rendah, meski dibangun dengan dana APBN mencapai Rp 2,6 triliun. Pada tahun 2024 kemarin, jumlah penumpang hanya mencapai sekitar 400 ribu, atau sekitar 3 persen dari target 12 juta per tahun.
Kerugian tahunan yang ditanggung operator, PT Bandarudara Internasional Jawa Barat, mencapai sekitar Rp 60 miliar. Mayoritas saham bandara dikuasai Pemprov Jawa Barat lewat BUMD, sementara Angkasa Pura II hanya memiliki sedikit saham. Hal ini mempengaruhi profesionalisme operasional bandara, karena manajemen tidak memiliki pengalaman luas di sektor penerbangan.
Pakar transportasi dari MTI, Djoko Setijowarno, menekankan bahwa penyebab utama rendahnya pengguna bandara adalah kemampuan pengelola yang belum optimal. Ia menyarankan peran Angkasa Pura atau InJourney harus diperbesar untuk meningkatkan jaringan maskapai, distribusi rute, serta efisiensi operasional di Kertajati.
Masalah lainnya adalah minimnya basis penumpang dari wilayah Bandung dan sekitarnya. Meskipun akses melalui Tol Cisumdawu cukup baik, banyak calon penumpang masih memilih Bandara Halim atau Soekarno‑Hatta karena jadwal penerbangan yang lebih banyak dan mudah dijangkau, serta harga tiket sering lebih murah.
Fasilitas bandara yang megah—dua landasan pacu, terminal seluas lebih dari 120 ribu meter persegi, dan terminal kargo senilai puluhan hektar—ternyata masih belum mampu menarik minat masyarakat. Pengembangan rute domestik-internasional juga belum berjalan sesuai rencana, akibat beberapa maskapai belum mau memindahkan penerbangan ke sana.
Solusi yang diajukan termasuk penyerahan operasional kepada operator profesional, peningkatan konektivitas transportasi darat dari Bandung dan hinterland, serta promosi wilayah Majalengka dan sekitarnya. Tanpa langkah fundamental tersebut, Kertajati dikhawatirkan menjadi monumen mahal yang mubazir tanpa memberi manfaat langsung bagi masyarakat.