Hajiumrahnews.com, Mina – Ibadah haji adalah perjalanan spiritual, namun juga menjadi ujian fisik dan mental yang luar biasa. Seperti yang dialami Rifqi Athallah (25), jemaah haji asal Indonesia yang membagikan kisah perjalanannya dari Muzdalifah ke Mina—yang penuh perjuangan, tangis, dan harapan.
Berangkat dari Arafah sekitar pukul 00.30 dini hari waktu Arab Saudi, Rifqi dan rombongan sampai di Muzdalifah untuk mengambil batu dan menunggu arahan. Namun kondisi lapangan yang penuh sesak dan minimnya informasi membuat proses menunggu menjadi penuh ketidakpastian.
“Antrean menuju bus sangat panjang dan tidak teratur. Banyak jemaah tidur-tidur ayam karena lelah. Ada yang nekat menerobos pagar, melempar tas, lalu merangkak masuk,” ungkap Rifqi.
Karena macet total dan ketiadaan transportasi, jemaah akhirnya diminta berjalan kaki menuju Mina sejauh 4 kilometer. Dalam kelelahan dan keterbatasan, Rifqi terpaksa menyeret tas rusaknya dengan membungkusnya menggunakan selimut yang ia temukan di jalan.
“Tas saya jebol, saya bungkus barang pakai selimut. Tetap saya seret. Sampai sobek karena tergesek aspal,” ceritanya dengan napas berat.
Jalanan menuju Mina dipenuhi lautan manusia dari berbagai negara—dari Afrika, Asia, dan Timur Tengah—semuanya menempuh perjalanan darat karena kendaraan tidak bisa masuk. Di tengah-tengah kerumunan, ada kursi roda terombang-ambing tanpa bantuan, dan beberapa jemaah terlihat terdorong hingga jatuh.
“Pos air minum memang ada dan sangat membantu. Tapi tetap saja fisik kami terkuras habis. Semua sedang berusaha bertahan masing-masing,” tuturnya.
Tenda Penuh, Lansia Terlantar
Namun setibanya di Mina, Rifqi dan rombongannya justru menghadapi kenyataan lain yang menyayat hati. Tenda-tenda penuh. Banyak lansia dan perempuan yang tidak mendapat tempat beristirahat.
“Terpaksa keruntelan, dua kasur untuk tiga orang. Bahkan tenda perempuan bercampur dengan laki-laki,” katanya prihatin. Menurutnya, pengaturan tenda di Mina jauh dari rapi dibanding di Arafah, meskipun mereka sudah sesuai kloter.
Distribusi makanan pun mengalami kendala. “Yang nggak kebagian tenda, nggak kebagian makan. Sistem distribusinya berdasarkan jumlah dalam tenda,” tambah Rifqi.
Meski begitu, ia mengapresiasi adanya perbaikan dalam penyediaan konsumsi. Namun ia menegaskan bahwa transportasi dan akomodasi adalah masalah utama yang perlu dievaluasi.
Perlu Evaluasi Serius
“Apa yang kami alami pasti dirasakan ribuan jemaah lain. Haji ini ibadah suci, sakral. Tapi kami merasa tidak mendapat informasi utuh. Banyak yang hanya bisa menebak-nebak kapan bus datang atau harus ke mana. Kami sudah lelah, tapi tetap harus lempar jumrah sore harinya,” ucap Rifqi.
Sementara itu, anggota Timwas Haji DPR RI, Selly Andriany Gantina, menambahkan bahwa penyebab utama kepadatan di Mina adalah pembatalan program tanazul oleh otoritas Arab Saudi untuk sekitar 37 ribu jemaah.
Padahal, program tersebut diperuntukkan bagi lansia dan jemaah risiko tinggi agar bisa lebih dulu kembali ke Mekkah. Ketika program itu batal, kepadatan tidak bisa dihindari. Banyak lansia harus berebut tenda dengan jemaah reguler lainnya.
“Tim kesehatan harus siaga. Banyak jemaah kelelahan setelah berjalan dari Muzdalifah dan tidak mendapatkan tempat istirahat layak,” kata Selly.
Ia juga menegaskan bahwa layanan dasar—seperti tenda, makan, dan kesehatan—harus tetap disediakan secara adil bagi semua jemaah, meskipun terjadi gangguan teknis atau pembatalan kebijakan.